Rabu, 08 Desember 2010

Teks Menentukan Konteks

Sebuah pintu lintas generasi terbuka melalui film klasik. Pernyataan tersebut dilontarkan Lisabona Rahman, manager program Kineforum DKJ, dalam Menikmati Film Klasik, koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010. Dengan menonton film klasik, kita dapat menelisik perkembangan film, khususnya yang diproduksi pada kisaran tahun 1900-1950.



Film-film klasik yang menguasai jamannya masih menjadi rujukan para sineas hingga kini. Pertama, dalam hal teknologi. Kedua, dalam hal penguasaan audiens. Vintage, pemujaan terhadap sesuatu yang berasal dari masa lalu, menjadi tren di segala bidang, tidak hanya dalam dunia fashion tetapi juga dalam industri perfilman.



Apresiasi terhadap film-film klasik memang layak diberikan. Berpuluh-puluh dekade silam, para sineas dapat menguasai teknologi sedemikian rupa. The Battleship Potemkin (1925) dapat dikatakan sebagai pelopor editing film di dunia. Citizen Kane (1941) memperkenalkan teknik kilas balik yang semakin menegaskan keunggulan film dibandingkan teater panggung yang notabene saat itu masih menjadi primadona. Sementara The Bicycle Thief (1948) mengangkat realita dengan teknologi yang sederhana namun tetap bersahaja.



Kecanggihan teknologi di atas akan menjadi sia-sia jika pesan dalam film tidak tersampaikan. Maka dari itu, sebelum membuat film, para sineas selalu memperhitungkan tingkat intelektual dan psikologis penonton yang menjadi target. Menurut Giles dan Wiemann, teks mampu menentukan konteks, bukan sebaliknya teks menyesuaikan diri dengan konteks (Hamad, 2004: 14). Jadi, film, dalam hal ini dimaknai sebagai teks, tidak semata-mata menyesuaikan diri dengan konteks sosio kultural masyarakat pada jamannya. Alih-alih demikian, film lah yang menentukan konteks. Melalui teks, dalam hal ini tayangan audio visualnya, sebuah film dapat menguasai audiens dan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilakunya.



Pola imitasi tersebut dapat dijelaskan oleh teori kultivasi. Ada sebuah prediksi bahwa tayangan kekerasan berkelindan dengan peningkatan perilaku agresif yang sesungguhnya (Severin dan Tankard, 2008: 339). Kekhawatiran tentang dampak paparan media telah dirasakan sejak awal perkembangan film melalui The Great Train Robbery (1903). Film besutan Edwin S. Porter itu mereka ulang adegan kekerasan perampokan kereta. Melalui film cerita pertama yang dibuat Amerika Serikat tersebut, timbul kesadaran akan kemampuan film dalam menyerang kognisi, afeksi, dan psikomotor audiens.



Kedahsyatan sebuah film disadari betul oleh Stalin, yang memegang tampuk kepemimpinan Rusia pada saat The Battleship Potemkin diproduksi. Setali tiga uang dengan rezim pendahulunya, Lenin, ia juga menaruh perhatian khusus terhadap film. Bahkan, ia mengintervensi film dengan lebih brutal. Ia sadar akan kedahsyatan film untuk menghasut massa. Harapannya, seusai menonton film ini, rakyat Rusia akan memihak Bolshevik, partai yang memimpin revolusi Rusia pada Oktober 1917.



Propaganda film-film klasik Rusia memang sangat kental. Namun, meskipun lebih tidak kentara, propaganda halus khas Hollywood biasanya lebih mengena. Rosebud, pesan kematian Kane, merupakan kata kunci yang mendukung dugaan bahwa sosoknya ada di dunia nyata yakni William Randolph Hearst. Berdasarkan Louis Pizzitola, penulis “Hearst Over Hollywood”, Rosebud adalah panggilan dari teman Hearst, Orrin Peck, yang diberikan kepada Ibu Hearst (Asdaru, 2008). Melalui film Citizen Kane, Orson Welles, sang sutradara sekaligus pemeran Kane, secara tersirat ingin menyampaikan bahwa meskipun kuat, sang raja media tersebut ‘cacat’.



Sebagai jalan tengah antara film propaganda Rusia dan film populer Hollywood, neorealisme Italia menjadi pilihan Bung Karno. Film-film neorealisme Italia semacam The Bicycle Thief mengangkat tema-tema kemiskinan yang dialami masyarakat kelas bawah Italia. Para sineas Italia menyerang emosi, bukan kognisi. Banalitas kemiskinan yang mengaduk-aduk emosi penonton sengaja disuguhkan demi meraih empati.



Bedanya dengan genre film klasik pendahulunya, neorealisme Italia tidak hanya mampu menguasai audiens tetapi juga mampu merepresentasikan jamannya. Faktor zeitgeist itu kemudian diadopsi oleh Usmar Ismail, pertama-tama melalui film Darah dan Doa (1950), untuk membuat film yang benar-benar mencerminkan kepribadian bangsa (Biran, 2009: 45). Oleh karena itu, hari pertama produksi film ini, 30 Maret, ditetapkan sebagai Hari Film Nasional Indonesia.



Referensi:

Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit.

Severin, Werner J. James W. Tankard. 2008. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana.

Menikmati Film Klasik. Koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010.

http://asdaru.multiply.com/journal/item/13/sejarah_film

http://jikala.multiply.com/journal/item/2

http://komparatismedansinemasastra.wordpress.com/2009/06/22/realisme-dalam-sinema-neo-realisme-italia-dan-realisme-klasik-hollywood-agnes-karina-rosari/

http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/94019-9-587748537379.doc.

0 komentar:

Posting Komentar

Teks Menentukan Konteks

| |

Sebuah pintu lintas generasi terbuka melalui film klasik. Pernyataan tersebut dilontarkan Lisabona Rahman, manager program Kineforum DKJ, dalam Menikmati Film Klasik, koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010. Dengan menonton film klasik, kita dapat menelisik perkembangan film, khususnya yang diproduksi pada kisaran tahun 1900-1950.



Film-film klasik yang menguasai jamannya masih menjadi rujukan para sineas hingga kini. Pertama, dalam hal teknologi. Kedua, dalam hal penguasaan audiens. Vintage, pemujaan terhadap sesuatu yang berasal dari masa lalu, menjadi tren di segala bidang, tidak hanya dalam dunia fashion tetapi juga dalam industri perfilman.



Apresiasi terhadap film-film klasik memang layak diberikan. Berpuluh-puluh dekade silam, para sineas dapat menguasai teknologi sedemikian rupa. The Battleship Potemkin (1925) dapat dikatakan sebagai pelopor editing film di dunia. Citizen Kane (1941) memperkenalkan teknik kilas balik yang semakin menegaskan keunggulan film dibandingkan teater panggung yang notabene saat itu masih menjadi primadona. Sementara The Bicycle Thief (1948) mengangkat realita dengan teknologi yang sederhana namun tetap bersahaja.



Kecanggihan teknologi di atas akan menjadi sia-sia jika pesan dalam film tidak tersampaikan. Maka dari itu, sebelum membuat film, para sineas selalu memperhitungkan tingkat intelektual dan psikologis penonton yang menjadi target. Menurut Giles dan Wiemann, teks mampu menentukan konteks, bukan sebaliknya teks menyesuaikan diri dengan konteks (Hamad, 2004: 14). Jadi, film, dalam hal ini dimaknai sebagai teks, tidak semata-mata menyesuaikan diri dengan konteks sosio kultural masyarakat pada jamannya. Alih-alih demikian, film lah yang menentukan konteks. Melalui teks, dalam hal ini tayangan audio visualnya, sebuah film dapat menguasai audiens dan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilakunya.



Pola imitasi tersebut dapat dijelaskan oleh teori kultivasi. Ada sebuah prediksi bahwa tayangan kekerasan berkelindan dengan peningkatan perilaku agresif yang sesungguhnya (Severin dan Tankard, 2008: 339). Kekhawatiran tentang dampak paparan media telah dirasakan sejak awal perkembangan film melalui The Great Train Robbery (1903). Film besutan Edwin S. Porter itu mereka ulang adegan kekerasan perampokan kereta. Melalui film cerita pertama yang dibuat Amerika Serikat tersebut, timbul kesadaran akan kemampuan film dalam menyerang kognisi, afeksi, dan psikomotor audiens.



Kedahsyatan sebuah film disadari betul oleh Stalin, yang memegang tampuk kepemimpinan Rusia pada saat The Battleship Potemkin diproduksi. Setali tiga uang dengan rezim pendahulunya, Lenin, ia juga menaruh perhatian khusus terhadap film. Bahkan, ia mengintervensi film dengan lebih brutal. Ia sadar akan kedahsyatan film untuk menghasut massa. Harapannya, seusai menonton film ini, rakyat Rusia akan memihak Bolshevik, partai yang memimpin revolusi Rusia pada Oktober 1917.



Propaganda film-film klasik Rusia memang sangat kental. Namun, meskipun lebih tidak kentara, propaganda halus khas Hollywood biasanya lebih mengena. Rosebud, pesan kematian Kane, merupakan kata kunci yang mendukung dugaan bahwa sosoknya ada di dunia nyata yakni William Randolph Hearst. Berdasarkan Louis Pizzitola, penulis “Hearst Over Hollywood”, Rosebud adalah panggilan dari teman Hearst, Orrin Peck, yang diberikan kepada Ibu Hearst (Asdaru, 2008). Melalui film Citizen Kane, Orson Welles, sang sutradara sekaligus pemeran Kane, secara tersirat ingin menyampaikan bahwa meskipun kuat, sang raja media tersebut ‘cacat’.



Sebagai jalan tengah antara film propaganda Rusia dan film populer Hollywood, neorealisme Italia menjadi pilihan Bung Karno. Film-film neorealisme Italia semacam The Bicycle Thief mengangkat tema-tema kemiskinan yang dialami masyarakat kelas bawah Italia. Para sineas Italia menyerang emosi, bukan kognisi. Banalitas kemiskinan yang mengaduk-aduk emosi penonton sengaja disuguhkan demi meraih empati.



Bedanya dengan genre film klasik pendahulunya, neorealisme Italia tidak hanya mampu menguasai audiens tetapi juga mampu merepresentasikan jamannya. Faktor zeitgeist itu kemudian diadopsi oleh Usmar Ismail, pertama-tama melalui film Darah dan Doa (1950), untuk membuat film yang benar-benar mencerminkan kepribadian bangsa (Biran, 2009: 45). Oleh karena itu, hari pertama produksi film ini, 30 Maret, ditetapkan sebagai Hari Film Nasional Indonesia.



Referensi:

Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit.

Severin, Werner J. James W. Tankard. 2008. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana.

Menikmati Film Klasik. Koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010.

http://asdaru.multiply.com/journal/item/13/sejarah_film

http://jikala.multiply.com/journal/item/2

http://komparatismedansinemasastra.wordpress.com/2009/06/22/realisme-dalam-sinema-neo-realisme-italia-dan-realisme-klasik-hollywood-agnes-karina-rosari/

http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/94019-9-587748537379.doc.

0 komentar:

Posting Komentar